Minggu, 26 Juni 2011

Sejarah Para Khalifah: Ibrahim I, Sultan yang Mencintai Rakyat




REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim I adalah Sultan Turki Utsmani dari 1640 hingga 1648. Dia menjadi sultan setelah saudaranya, Murad IV, tidak meninggalkan seorang pun anak laki-laki sebagai penerus tahta. Saat Sultan Murad IV meninggal, tidak seorang pun keturunan Ali Utsmani yang masih hidup, kecuali Ibrahim yang dipenjara selama pemerintahannya.

Tatkala saudaranya meninggal, para pembesar kerajaan segera mendatanginya ke penjara untuk memberitahukan kematian saudaranya, Sultan Murad IV. Tatkala mereka menemuinya, ia menyangka bahwa mereka datang untuk membunuhnya. Dia ketakutan dan tidak percaya dengan berita yang mereka bawa. Oleh sebab itu, ia tidak membukakan pintu penjara. Akhirnya para pembesar membongkar paksa pintu penjara dan menyatakan ucapan selamat kepadanya.

Ibrahim I masih mengira bahwa mereka sedang berusaha memperdayainya untuk mengorek isi hatinya. Maka dia pun menolak tawaran untuk berkuasa dan mengatakan lebih senang hidup sendirian di balik jeruji daripada menerima kerajaan dunia. Tatkala mereka tidak berdaya meyakinkannya, ibunya mendatanginya dengan membawa jenazah saudaranya.

Saat itulah dia duduk di tahta kesultanan dan memerintahkan agar jenazah saudaranya dikuburkan dengan prosesi yang megah. Di depan jenazah Sultan Murad IV, ada tiga kuda yang paling baik yang pernah ditungganginya saat berperang di Baghdad. Setelah itu, Ibrahim berangkat ke Masjid Jami' Abu Ayyub Al-Anshari dan di sanalah ia disandangi pedang, dan yang hadir membaiatnya sebagai khalifah.

Ketika naik ke singgasana dia berujar, "Ya Allah, perbaiki keadaan rakyat hamba selama pemerintahan hamba. Dan jadikanlah kami saling mencintai satu sama lain."

Kondisi dalam negeri relatif stabil setelah Sultan Murad IV, saudaranya, melakukan sejumlah perbaikan ke dalam, terutama terhadap militer. Maka Sultan Ibrahim memfokuskan diri pada perbaikan ekonomi dan menegakkan undang-undang perpajakan dengan asas-asas yang baru.

Pada masa pemerintahannya, Perdana Menteri Musthafa Pasya berhasil menghentikan campur tangan perempuan dalam masalah-masalah kesultanan dan berhasil menumpas para pembesar kerajaan yang melakukan perusakan.

Ada yang mengatakan, Khalifah Ibrahim I menderita penyakit mental, bahkan gila. Mungkin karena menderita kelabilan mental (neurasthenia), dan juga tertekan setelah kematian saudaranya. oleh karena itu, benar- benar memberikan contoh tauladan bagi pemimpin....

Jumat, 24 Juni 2011

perubahan organisasi

Bagaimana organisasi mengetahui kapan mereka harus berubah? Tanda-tanda apa yang harus dicari oleh organisasi? Meskipun tidak ada jawaban yang benar benar pasti, tanda - tanda yang mengindikasikan kebutuhan akan perubahan ditemukan dengan cara mengawasi kekuatan kekuatan untuk perubahan.
Organisasi menghadapi banyak kekuatan untuk perubahan yang berbeda. Kekuatan - kekuatan ini berasal dari sumber eksternal di luar organisasi dan dari sumber internal. Kesadaran akan kekuatan – kekuatan ini dapat membantu para manajer untuk menentukan kapan mereka sebaiknya mempertimbangkan mengimplementasikan perubahan organisasi1.
A. Kekuatan kekuatan untuk perubahan
1. Kekuatan eksternal
Kekuatan eksternal untuk perubahan berasal dari luar organisasi. Ada empat kekuatan eksternal kunci untuk perubahan:
Karakteristik demografi, memberikan pembahasan terinci mengenai perubahan demografi yang terjadi pada anggota. Dua tren kunci yang diidentifikasikan dalam pembahasan tersebut adalah
1) Tenaga kerja lebih beraneka ragam
2) Ada kepentingan bisnis untuk mengelola keragaman secara efektif jika mereka ingin memperoleh kontribusi dan komitmen maksimum dari anggota.
Kemajuan teknologi, baik perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa mengalami peningkatan dalam penggunaan teknologi sebagai suatu sarana untuk memperbaiki produktifitas dan daya saing di pasar.
Perubahan Pasar, munculnya perubahan ekonomi global memaksa perusahaan untuk mengubah cara mereka melakukan bisnis.
Tekanan sosial dan politik, diciptakan oleh peristiwa sosial dan politik. Peristiwa peristiwa politik dapat menciptakan perubahan yang substansial. Meskipun sulit bagi organisasi untuk memprediksikan perubahan dalam kekuatan politik, banyak organisasi yang mempekerjakan para pelobi dan konsultan guna membantu dalam mendeteksi dan menanggapi perubahan perubahan sosial dan politik.

2. Kekuatan internal
Kekuatan internal untuk perubahan berasal dari organisasi. Hal ini mungkin ‘halus’, seperti rendahnya kepuasan kerja atau dapat bermanivestasi dalam tanda tanda luar, seperti rendahnya produktifitas dan timbulnya konflik. Kekuatan kekuatan internal untuk perubahan bersal dari masalah sumberdaya manusia maupun perilaku / keputusan manajerial.
Masalah / prospek sumber daya manusia, masalah ini berasal dari persepsi karyawan mengenai bagaimana mereka diperlakukan di tempat kerja dan adanya kecocokan antara kebutuhan dan keinginan pribadi dan organisasi.
Perilaku / keputusan manajerial, adanya konflik yang berlebihan antara manajer dan bawahannya menandakan bahwa perubahan diperlukan. Baik manajer maupun karyawan membutuhkan pelatihan keterampilan interpersonal, atau kedua individu tersebut mungkin hanya perlu dipisahkan. Misalnya, salah satu pihak mungkin ditransfer ke departemen baru.
B. Model dan dinamika dari perubahan yang direncanakan
1. Jenis jenis perubahan
Tipologi dua cara yang berguna mengenai perubahan ini umum karena berkaitan dengan semua jenis perubahan termasuk perubahan administratif maupun perubahan teknologi. Tipologi untuk perubahan organisasi tersebut antara lain
a.Perubahan adaptif, adalah yang paling rendah dalam hal kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Perubahan ini meliputi penerapan kembali suatu perubahan di unit organisasi yang sama di kemudian hari atau imitasi dari perubahan yang serupa pada unit yang berbeda, contohnya suatu departement store mengandalkan dua belas jam kerja sehari selama minggu perhitungan persediaan tahunan. Departemen akuntansi dari departemen store tersebut dapat meniru perubahan yang sama dalam jam kerja selama waktu persiapan pajak.
b.Perubahan inovatif, yaitu perubahan yang terletak di tengah tengah dari kontinum kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Suatu eksperimen dengan jadwal kerja fleksibel di suatu perusahaan pergudangan bahan bahan pertanian memenuhi syarat sebagai perubahan inovatif jika hal tersebut memerlukan perubahan sesuai dengan cara yang telah digunakan oleh perusahaan perusahaan lain di industri tersebut. Ketidakbiasaan, dan dengan demikian ketidakpastian yang lebih besar, membuat ketakutan akan perubahan menjadi suatu masalah dengan perubahan yang inovatif.
2. Model perubahan lewin
Kurt Lewin mengembangkan model tiga tahap dari perubahan yang direncanakan yang menjelaskan bagaimana memulai, mengelola dan menstabilikan proses perubahan. Tiga tahapan untuk perubahan antara lain :
Mencairkan (unfreezing) Fokus pada tahap ini adalah menciptakan motivasi untuk berubah. Dengan melakukan hal ini, individu didorong untuk menggantikan perilaku dan sikap lama dengan perilaku dan sikap baru yang diinginkan oleh manajemen. Para manajer dapat memulai proses mencairkan ini dengan tidak menegaskan kegunaan maupun kesesuaian dari perilaku atau sikap karyawan saat ini. Dengan kata lain karyawan dapat merasa tidak puas dengan cara lama mereka melakukan secara sesuatu.
Benchmarking (menentukan tolak ukur) adalah teknik yang digunakan untuk membantu mencairkan organisasi yakni menggambarkan keseluruhan proses yang mana perusahan membandingkan kinerjanya dengan perusahaan lainnya yang mempunyai kinerja yang kuat untuk mencapai tujuan mereka.
Mengubah (changing) karena perubahan melibatkan pembelajaran, maka tahap ini diharus kan melengkapi karyawan dengan informasi yang baru, model perilaku baru, atau cara – cara baru untuk memandang segala sesuatu. Tujuannya adalah untuk membantu karyawan mempelajari konsep atau cara pandang baru tersebut.
Membekukan Ulang (refreezing) Perubahan distabilkan pada tahap membekukan kembali dengan cara membantu karyawan mengintegrasikan sikap dan perilaku yang telah diubah ke dalam cara – cara mereka yang normal dalam melakukan segala sesuatu.
3. Model Perubahan Sistem
Pendekatan sistem perspektif “gambaran besar” dari perubahan organisasi. Hal tersebut didasarkan pada ide bahwa perubahan apapun, tidak peduli besar maupun kecil memiliki dampak yang mengalir keseluruh organisasi. Contohnya, mempromosikan seseorang ke kelompok kerja baru akan mempengaruhi dinamika baik kelompok baru maupun kelompok lama, contoh tersebut mengilustrasikan bahwa perubahan menciptakan perubahan lain2. Model perubahan sistem menawarkan kepada para manajer suatu kerangka kerja untuk memahami kompleksitas yang luas dari perubahan organisasi. Tiga komponen utama dari suatu model sistem adalah :
a.Input, Semua perubahan organisasi harus konsisten dengan misi, visi dan rencana strategis yang dihasilkannya. Suatu pernyataan misi mencerminkan “alasan” mengapa suatu organisasi itu ada. Visi didefinisikan sebagai tujuan jangka panjang yang “menggambarkan” inginmenjadi apa organisasi tersebut. Mempertimbangkan perbedaan antara visi dan misi organisasi mempengaruhi perubahan organisasi. Misi hanya mendefinisikan tujuan dari keseluruhan organisasi terkadang tidak selalu mengimplementasikan sesuatu mengenai perubahan. Sementara pernyataan visi menunjukkan cara, perencanaan strategis terdiri atas rincian yang diperlukan untuk perubahan organisasi. Perencanaan strategis menguraikan arah jangka panjang organisasi dan tindakan – tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang direncanakan. Perencanaan strategis didasarkan pada pertimbangan atas kekuatan dan kelemahan organisasi relative terhdap kesempatan dan ancaman dari lingkungannya3. Perbandingan ini menghasilkan pengembangan strategi organisasi guna memperoleh output yang diinginkan seperti laba, kepuasan konsumen, kualitas, tingkat pengembalian investasi yang mencukupi, dan tingkat perputaran serta komitmen karyawan yang dapat diterima.
b.Elemen – elemen target dari perubahan, elemen – elemen target dari perubahan mencerminkan komponen – komponen organisasi yang dapat diubah, perubahan dapat diarahkan pada penyesuaian kembali pengaturan organisasi, faktor sosial, metode, tujuan, dan karyawan. Pilihan tersebut didasarkan pada strategi yang dikejar atau masalah yang sedang dihadapi organisasi
c.Output output mencerminkan hasil akhir yang diinginkan dari perubahan. Hasil akhir harus konsisten dengan rencana strategis organissasi. Usaha perubahan adalah lebih rumit dan lebih sulit untuk dikelola ketika ditargetkan ke tingkat level organisasi. Hal ini terjadi karena perubahan pada tingkat organisasi kemugkinan besar mempengaruhi banyak elemen yang ditargetkan dari perubahan yang ditunjukkan di model tersebut.
4. Delapan Langkah Kotter untuk Memimpin Perubahan Organisasi
John kotler, seorang pakar kepemimpinan dan manajemen perubahan, percaya bahwa perubahan organisasi khususnya akan gagal karena manajemen senior melakukan satu atau lebih kesalahan berikut ini : (Winardi:14:2004)
a.Kegagalan untuk menetapkan suatu rasa kegentingan mengenai kebutuhan akan perubahan seperti mencairkan organisasi dengan menciptakan alasan yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
b.Kegagalan untuk menetapkan suatu koalisi yang cukup kuat untuk memberikan pedoman yang bertanggungjawab untuk memimpin dan mengelola perubahan. Deskripsinya seperti menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan lintas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin kelompok.
c.Kegagalan untuk menetapkan suatu visi yang memandu proses perubahan.
d.Kegagalan untuk mengkomunikasikan visi baru secara efektif.
e.Kegagalan untuk menghilangkan halangan yang merintangi pencapaian visi baru.
f.Kegagalan untuk secara sistematis merencanakan untuk dan menciptakan kemenangan jangka pendek. Kemenangan jangka pendek mencerminkan pencapaian dari hasil atau tujuan penting.
g.Terlalu cepat mengumumkan kemenangan. Hal ini dapat menggelincirkan perubahan jangka panjang pada infrastruktur yang sering diperlukan untuk mencapai suatu visi.
h.Kegagalan untuk menjangkarkan perubahan pada budaya organisasi. Hal inidiperlukan waktu bertahun – tahun untuk tertanam dalam budaya organisasi.
kotler merekomendasikan bahwa organisasi sebaiknya mengikuti delapan langkah yang saling berurutan untuk mengatasi masalah – masalah yang berasal dari tekanan kekuatan internal maupun kekuatan eksternal.4
5. Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi
Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi menurut kotler
- Menetapkan rasa kegentingan, yakni mencairkan organisasi dengan menciptakan alas an yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
- Menciptakan koalisi yang memberikan pedoman, yakni dengan menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan litas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin perubahan.
- Mengembangkan suatu visi dan strategi, yakni menciptakan visi dan rencana strategis untuk memandu proses perubahan.
- Membentuk dan mengimplementasikan strategi komunikasi yang secara konsisten mengkomunikasikan visi dan rencana strategi baru.
- Memberdayakan tindakan yang berbasis luas, dengan menghilangkan halangan terhadap perubahan dan menggunakan elemen– elemen target dari perubahan untuk mentransformasikan organisasi. Mendorong sikap yang berani mengambil resiko dan penyelesaian masalah yang kreatif.
- Menghasilkan kemenangan jangka pendek, yakni merencanakan untuk menciptakan kemenangan atau perbaikan jangka pendek, mengakui dan menghargai karyawan yang memberikan kontribusi terhadap kemenangan.
- Mengonsolidasikan keuntungan dan menghasilkan lebih banyak perubahan. Deskripsinya yakni koalisi yang memandu menggunakan kredibilitas dari kemenangan jangka pendek untuk menciptakan lebih banyak perubahan. Tambahan karyawan dilibatkan pada proses perubahan ketika perubahan mengalir ke seluruh organisasi. Usaha dibuat untuk menyegarkan kembali proses perubahan.
- Menancapkan pendekatan baru ke dalam budaya, dengan cara
memperkuat perubahan dengan menggarisbawahi hubungan antara perilaku dan proses baru dengan keberhasilan organisasi. Mengembangkan metode – metode untuk memastikan pengembangan dan suksesi kepemimpinan.
C. Proses pengelolaan perubahan
1. Tahap – tahap proses perubahan
Proses perubahan meliputi enam tahapan :
1) Tekanan dan desakan. Proses mulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan perubahan, biasanya disebabkan berbagai masalah yang berarti, seperti penurunan pejualan atau penurunan laba secara tajam.
2) Intervensi dan reorientasi. Konsultan atau pengantar perubahan dari luar sering digunakan untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para organisasi untuk memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut.
3) Diagnosa dan pengenalan masalah. Informasi dikumpulkan dan dianalisa oleh pengantar perubahan dan manajemen.
4) Penemuan dan komitmen pada penyelesaian. Pengantar perubahan hendaknya merangsang pemikiran dan mencoba untuk menghindari penggunaan metode – metode lama yang sama. Penyelesaian – penyelesaian diketemukan melalui pengembangan secara kreatif, alternatif – alternatif baru dan masuk akal.
5) Percobaan dan pencarian hasil – hasil. Penyelesaian – penyelesaian pada tahap empat biasanya diuji dalam program – program percobaan berkala dan hasil – hasilnya dianalisis.
6) Penguatan dan penerimaan. Bila serangkaian kekuatan telah diuji dan sesuai keinginan, harus diterima secara sukarela. Pelaksanaan kegiatan yang telah diterima harus menjadi sumber penguatan dan menimbulkan
keterikatan terhadap perubahan
2. Pemastian bahwa perubahan adalah permanen
Perubahan mensyaratkan bahwa para anggota organisasi mengubah cara – cara mereka biasanya berperilaku atau bekerja. Oleh karena itu, para manajer harus dapat tidak hanya untuk memperbaiki hubungan – hubungan struktural – teknologi – karyawan dalam organisasi tetapi juga untuk membuat perubahan – perubahan dengan cara di mana perilaku manusiawi yang saling berhubungan diubah secara paling efektif. Perubahan efektif hanya terjadi bila para anggota organisasi mengubah perilaku mereka sesuai dengan pengarahan yang diinginkan .
Perubahan – perubahan mungkin menjadi permanen (tetap) bila perubahan – perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
D.Memahami dan megelola penolakan terhadap perubahan
1. Penolakan terhadap perubahan
Bila perubahan terjadi, para manajer dan karyawan akan bereaksi baik secara positif ataupu negatif. Berbagai reaksi khas terhadap perubahan adalah sebagai berikut :
a. orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi. Bila ini terjadi organisasi kemungkinan akan terus kehilangan efektifitasnya.
b. Orang mungkin mengabaikan perubahan. Manajer mungkin menangguhkan keputusan – keputusan dengan harapan bahwa masalah yang terjadi akan hilang dengan sendirinya.
c. Orang mungkin menolak perubahan. Karena berbagai alasan manajer dan karyawan mungkin menolak perubahan
d. Orang mungkin menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut
e. Orang juga mungkin mengantisifasi perubahan dan merencanakannya, seperti banyak dilakukan perusahan – perusahaan progresif.
Ada tiga sumber umum penolakan terhadap perubahan :
1) Ketidakpastian tentang akibat dan pengaruh perubahan. Para anggota organisasi mungkin secara psikologis menolak perubahan karena mereka menghindari ketidakpastian. Cara – cara tradisional pelaksanaan tugas sudah menjadi pedoman kegiatan – kegiatan para anggotanya dan konsekuensi serta aturannya telah diterapkan sangat melekat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengubahnya.
2) Ketidakpastian untuk melepaskan keuntungan – keuntungan yang ada. Perubahan yang akan memberikan banyak manfaat bagi organisasi secara keseluruhan, belum tentu akan menguntungkan sekelompok orang atau individu. Sekelompok orang atau individu yang merasa terancam kedudukannya dengan adanya perubahan akan berusaha mempertahankan status yang dinikmatinya dan berusaha menolak perubahan
3) Pengetahuan akan kelemahan – kelemahan dalam perubahan yang diusulkan kadang – kadang para anggota organisasi akan menolak perubahan karena mereka megetahui adanya masalah – masalah potensial yang tidak diperhatikan oleh para pengusul perubahan. Perbedaan penilaian terhadap situasi ini memberikan jenis konflik yang diperlukan bagi manajer untuk membuat usulan perubahan menjadi lebih efektif.
2. Penanggulangan penolakan terhadap perubahan
Kotler dan Schlesinger mengemukakan enam cara
1) pendidikan dan komunikasi. Salah satu cara untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan adalah dengan menginformasikan perubahan – perubahan yang direncanakan dan kebutuhan akan perubahan sedini mungkin dalam proses.
2) Partisipasi dan keterlibatan. Bila para perubahan dilibatkan dalam perancangan dan implementasi perubahan., penolakan terhadap perubahan dapat dikurangi atau dihilangkan.
3) Kemudahan dan dukungan. Pemudahan proses perubahan dan pemberian dukungan kepada mereka yang terlibat merupakan cara lain manajer dapat menangani penolakan.
4) Negosiasi dan persetujuan. Teknik lain adalah negosiasi dengan para penolak potensial. Sebagai contoh, persetujuan perikatan.
5) Manipulasi dan “bekerja sama”. Kadang – kadang para manajer menjauhkan individu atau kelompok dari penolakan terhadap perubahan.
6) Paksaan eksplisit dan implisit. Para manajer dapat memaksa orang – orang untuk menerima perubahan dengan berbagai ancaman eksplisit dan implisit, dalam bentuk kehilangan pekerjaan, penundaan promosi dan sebagainya. Manajer juga dapat memecat atau memindahkan para karyawan yang menentang perubahan.
Penanggulangan penolakan terhadap perubahan akan melibatkan penggunaan lebih dari satu pendekatan – pendekatan di atas. perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
E. Berbagai pendekatan perubahan organisasi
Bila manajemen merencanakan suatu perubahan, maka harus memutuskan unsur – unsur apa dalam organisasi yang akan diubah. Harold J. Leavitt bahwa organisasi dapat diubah melalui pendekatan struktural, pendekatan teknologis dan pendekatan orang.5
1. Pendekatan struktural
Menurut Leavitt, usaha untuk melakukan perubahan organisasi melalui pengubahan struktur dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah perubahan struktural yang diciptakan melalui aplikasi prinsip – prinsip perancangan organisasi klasik. Para teoritis klasik berusaha untuk memperbaiki prestasi organisasi melalui perumusan secara jelas dan hati – hati tanggungjawab jabatan para anggota organisasi.
Pendekatan perubahan struktural lainya adalah pengubahan organisasi melalui desentralisasi yang mana pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa penciptaan satuan – satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri akan meningkatkan motivasi para anggota organisasi dan membantu mereka untuk memusatkan perhatian mereka pada prioritas yang lebih tinggi.
Pendekatan struktural ketiga bermaksud untuk melakukan perbaikan prestasi organisasi melalui modifikasi aliran kerja dalam organisasi. Pendekatan ini didasarkan atas pemikiran bahwa aliran kerja yang tepat dan pengelompokkan kaeahlian menyebabkan perbaikan produktivitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat kerja dan kepuasan kerja.
2. Pendekatan teknologis
Aplikasi sistematis pendekatan perubahan teknologi mulai dengan hasil karya Frederick Taylor dan para pengikutnya menganalisa dan memperbaiki interaksi – interaksi antara para karyawan dan mesin – mesin untuk meningkatkan efisiensi.6 Dengan studi waktu dan gerak penetapan tingkat upah borongan, dan usaha – usaha lain untuk merancang kembali operasi – operasi kerja dan sistem balas jasa, taylor dan teknisi industri mencoba memperbaiki prestasi organisasi.
Penggabungan pendekatan struktural dan teknologikal, penggabungan kedua perubahan ini bermaksud untuk memperbaiki prestasi melalui perubahan berbagai aspek struktural maupun teknologinya secara bersamaan.
3. Pendekatan orang
Pendekatan – pendekatan orang dilain pihak, bermaksud untuk mengubah secara langsung perilaku karyawan melalui pemusatan pada keterampilan, sikap dan persepsi serta pengharapan mereka, sehingga mereka akan melaksanakan tugas dengan lebih efektif. Keterampilan dan sikap baru ini dapat mendorong para karyawan untuk memprakarsai perubahan dalam struktur dan teknologi organisasi yang mengarah pada perbaikan prestasi organisasi



















Bagaimana organisasi mengetahui kapan mereka harus berubah? Tanda-tanda apa yang harus dicari oleh organisasi? Meskipun tidak ada jawaban yang benar benar pasti, tanda - tanda yang mengindikasikan kebutuhan akan perubahan ditemukan dengan cara mengawasi kekuatan kekuatan untuk perubahan.
Organisasi menghadapi banyak kekuatan untuk perubahan yang berbeda. Kekuatan - kekuatan ini berasal dari sumber eksternal di luar organisasi dan dari sumber internal. Kesadaran akan kekuatan – kekuatan ini dapat membantu para manajer untuk menentukan kapan mereka sebaiknya mempertimbangkan mengimplementasikan perubahan organisasi1.
A. Kekuatan kekuatan untuk perubahan
1. Kekuatan eksternal
Kekuatan eksternal untuk perubahan berasal dari luar organisasi. Ada empat kekuatan eksternal kunci untuk perubahan:
Karakteristik demografi, memberikan pembahasan terinci mengenai perubahan demografi yang terjadi pada anggota. Dua tren kunci yang diidentifikasikan dalam pembahasan tersebut adalah
1) Tenaga kerja lebih beraneka ragam
2) Ada kepentingan bisnis untuk mengelola keragaman secara efektif jika mereka ingin memperoleh kontribusi dan komitmen maksimum dari anggota.
Kemajuan teknologi, baik perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa mengalami peningkatan dalam penggunaan teknologi sebagai suatu sarana untuk memperbaiki produktifitas dan daya saing di pasar.
Perubahan Pasar, munculnya perubahan ekonomi global memaksa perusahaan untuk mengubah cara mereka melakukan bisnis.
Tekanan sosial dan politik, diciptakan oleh peristiwa sosial dan politik. Peristiwa peristiwa politik dapat menciptakan perubahan yang substansial. Meskipun sulit bagi organisasi untuk memprediksikan perubahan dalam kekuatan politik, banyak organisasi yang mempekerjakan para pelobi dan konsultan guna membantu dalam mendeteksi dan menanggapi perubahan perubahan sosial dan politik.

2. Kekuatan internal
Kekuatan internal untuk perubahan berasal dari organisasi. Hal ini mungkin ‘halus’, seperti rendahnya kepuasan kerja atau dapat bermanivestasi dalam tanda tanda luar, seperti rendahnya produktifitas dan timbulnya konflik. Kekuatan kekuatan internal untuk perubahan bersal dari masalah sumberdaya manusia maupun perilaku / keputusan manajerial.
Masalah / prospek sumber daya manusia, masalah ini berasal dari persepsi karyawan mengenai bagaimana mereka diperlakukan di tempat kerja dan adanya kecocokan antara kebutuhan dan keinginan pribadi dan organisasi.
Perilaku / keputusan manajerial, adanya konflik yang berlebihan antara manajer dan bawahannya menandakan bahwa perubahan diperlukan. Baik manajer maupun karyawan membutuhkan pelatihan keterampilan interpersonal, atau kedua individu tersebut mungkin hanya perlu dipisahkan. Misalnya, salah satu pihak mungkin ditransfer ke departemen baru.
B. Model dan dinamika dari perubahan yang direncanakan
1. Jenis jenis perubahan
Tipologi dua cara yang berguna mengenai perubahan ini umum karena berkaitan dengan semua jenis perubahan termasuk perubahan administratif maupun perubahan teknologi. Tipologi untuk perubahan organisasi tersebut antara lain
a.Perubahan adaptif, adalah yang paling rendah dalam hal kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Perubahan ini meliputi penerapan kembali suatu perubahan di unit organisasi yang sama di kemudian hari atau imitasi dari perubahan yang serupa pada unit yang berbeda, contohnya suatu departement store mengandalkan dua belas jam kerja sehari selama minggu perhitungan persediaan tahunan. Departemen akuntansi dari departemen store tersebut dapat meniru perubahan yang sama dalam jam kerja selama waktu persiapan pajak.
b.Perubahan inovatif, yaitu perubahan yang terletak di tengah tengah dari kontinum kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Suatu eksperimen dengan jadwal kerja fleksibel di suatu perusahaan pergudangan bahan bahan pertanian memenuhi syarat sebagai perubahan inovatif jika hal tersebut memerlukan perubahan sesuai dengan cara yang telah digunakan oleh perusahaan perusahaan lain di industri tersebut. Ketidakbiasaan, dan dengan demikian ketidakpastian yang lebih besar, membuat ketakutan akan perubahan menjadi suatu masalah dengan perubahan yang inovatif.
2. Model perubahan lewin
Kurt Lewin mengembangkan model tiga tahap dari perubahan yang direncanakan yang menjelaskan bagaimana memulai, mengelola dan menstabilikan proses perubahan. Tiga tahapan untuk perubahan antara lain :
Mencairkan (unfreezing) Fokus pada tahap ini adalah menciptakan motivasi untuk berubah. Dengan melakukan hal ini, individu didorong untuk menggantikan perilaku dan sikap lama dengan perilaku dan sikap baru yang diinginkan oleh manajemen. Para manajer dapat memulai proses mencairkan ini dengan tidak menegaskan kegunaan maupun kesesuaian dari perilaku atau sikap karyawan saat ini. Dengan kata lain karyawan dapat merasa tidak puas dengan cara lama mereka melakukan secara sesuatu.
Benchmarking (menentukan tolak ukur) adalah teknik yang digunakan untuk membantu mencairkan organisasi yakni menggambarkan keseluruhan proses yang mana perusahan membandingkan kinerjanya dengan perusahaan lainnya yang mempunyai kinerja yang kuat untuk mencapai tujuan mereka.
Mengubah (changing) karena perubahan melibatkan pembelajaran, maka tahap ini diharus kan melengkapi karyawan dengan informasi yang baru, model perilaku baru, atau cara – cara baru untuk memandang segala sesuatu. Tujuannya adalah untuk membantu karyawan mempelajari konsep atau cara pandang baru tersebut.
Membekukan Ulang (refreezing) Perubahan distabilkan pada tahap membekukan kembali dengan cara membantu karyawan mengintegrasikan sikap dan perilaku yang telah diubah ke dalam cara – cara mereka yang normal dalam melakukan segala sesuatu.
3. Model Perubahan Sistem
Pendekatan sistem perspektif “gambaran besar” dari perubahan organisasi. Hal tersebut didasarkan pada ide bahwa perubahan apapun, tidak peduli besar maupun kecil memiliki dampak yang mengalir keseluruh organisasi. Contohnya, mempromosikan seseorang ke kelompok kerja baru akan mempengaruhi dinamika baik kelompok baru maupun kelompok lama, contoh tersebut mengilustrasikan bahwa perubahan menciptakan perubahan lain2. Model perubahan sistem menawarkan kepada para manajer suatu kerangka kerja untuk memahami kompleksitas yang luas dari perubahan organisasi. Tiga komponen utama dari suatu model sistem adalah :
a.Input, Semua perubahan organisasi harus konsisten dengan misi, visi dan rencana strategis yang dihasilkannya. Suatu pernyataan misi mencerminkan “alasan” mengapa suatu organisasi itu ada. Visi didefinisikan sebagai tujuan jangka panjang yang “menggambarkan” inginmenjadi apa organisasi tersebut. Mempertimbangkan perbedaan antara visi dan misi organisasi mempengaruhi perubahan organisasi. Misi hanya mendefinisikan tujuan dari keseluruhan organisasi terkadang tidak selalu mengimplementasikan sesuatu mengenai perubahan. Sementara pernyataan visi menunjukkan cara, perencanaan strategis terdiri atas rincian yang diperlukan untuk perubahan organisasi. Perencanaan strategis menguraikan arah jangka panjang organisasi dan tindakan – tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang direncanakan. Perencanaan strategis didasarkan pada pertimbangan atas kekuatan dan kelemahan organisasi relative terhdap kesempatan dan ancaman dari lingkungannya3. Perbandingan ini menghasilkan pengembangan strategi organisasi guna memperoleh output yang diinginkan seperti laba, kepuasan konsumen, kualitas, tingkat pengembalian investasi yang mencukupi, dan tingkat perputaran serta komitmen karyawan yang dapat diterima.
b.Elemen – elemen target dari perubahan, elemen – elemen target dari perubahan mencerminkan komponen – komponen organisasi yang dapat diubah, perubahan dapat diarahkan pada penyesuaian kembali pengaturan organisasi, faktor sosial, metode, tujuan, dan karyawan. Pilihan tersebut didasarkan pada strategi yang dikejar atau masalah yang sedang dihadapi organisasi
c.Output output mencerminkan hasil akhir yang diinginkan dari perubahan. Hasil akhir harus konsisten dengan rencana strategis organissasi. Usaha perubahan adalah lebih rumit dan lebih sulit untuk dikelola ketika ditargetkan ke tingkat level organisasi. Hal ini terjadi karena perubahan pada tingkat organisasi kemugkinan besar mempengaruhi banyak elemen yang ditargetkan dari perubahan yang ditunjukkan di model tersebut.
4. Delapan Langkah Kotter untuk Memimpin Perubahan Organisasi
John kotler, seorang pakar kepemimpinan dan manajemen perubahan, percaya bahwa perubahan organisasi khususnya akan gagal karena manajemen senior melakukan satu atau lebih kesalahan berikut ini : (Winardi:14:2004)
a.Kegagalan untuk menetapkan suatu rasa kegentingan mengenai kebutuhan akan perubahan seperti mencairkan organisasi dengan menciptakan alasan yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
b.Kegagalan untuk menetapkan suatu koalisi yang cukup kuat untuk memberikan pedoman yang bertanggungjawab untuk memimpin dan mengelola perubahan. Deskripsinya seperti menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan lintas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin kelompok.
c.Kegagalan untuk menetapkan suatu visi yang memandu proses perubahan.
d.Kegagalan untuk mengkomunikasikan visi baru secara efektif.
e.Kegagalan untuk menghilangkan halangan yang merintangi pencapaian visi baru.
f.Kegagalan untuk secara sistematis merencanakan untuk dan menciptakan kemenangan jangka pendek. Kemenangan jangka pendek mencerminkan pencapaian dari hasil atau tujuan penting.
g.Terlalu cepat mengumumkan kemenangan. Hal ini dapat menggelincirkan perubahan jangka panjang pada infrastruktur yang sering diperlukan untuk mencapai suatu visi.
h.Kegagalan untuk menjangkarkan perubahan pada budaya organisasi. Hal inidiperlukan waktu bertahun – tahun untuk tertanam dalam budaya organisasi.
kotler merekomendasikan bahwa organisasi sebaiknya mengikuti delapan langkah yang saling berurutan untuk mengatasi masalah – masalah yang berasal dari tekanan kekuatan internal maupun kekuatan eksternal.4
5. Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi
Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi menurut kotler
- Menetapkan rasa kegentingan, yakni mencairkan organisasi dengan menciptakan alas an yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
- Menciptakan koalisi yang memberikan pedoman, yakni dengan menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan litas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin perubahan.
- Mengembangkan suatu visi dan strategi, yakni menciptakan visi dan rencana strategis untuk memandu proses perubahan.
- Membentuk dan mengimplementasikan strategi komunikasi yang secara konsisten mengkomunikasikan visi dan rencana strategi baru.
- Memberdayakan tindakan yang berbasis luas, dengan menghilangkan halangan terhadap perubahan dan menggunakan elemen– elemen target dari perubahan untuk mentransformasikan organisasi. Mendorong sikap yang berani mengambil resiko dan penyelesaian masalah yang kreatif.
- Menghasilkan kemenangan jangka pendek, yakni merencanakan untuk menciptakan kemenangan atau perbaikan jangka pendek, mengakui dan menghargai karyawan yang memberikan kontribusi terhadap kemenangan.
- Mengonsolidasikan keuntungan dan menghasilkan lebih banyak perubahan. Deskripsinya yakni koalisi yang memandu menggunakan kredibilitas dari kemenangan jangka pendek untuk menciptakan lebih banyak perubahan. Tambahan karyawan dilibatkan pada proses perubahan ketika perubahan mengalir ke seluruh organisasi. Usaha dibuat untuk menyegarkan kembali proses perubahan.
- Menancapkan pendekatan baru ke dalam budaya, dengan cara
memperkuat perubahan dengan menggarisbawahi hubungan antara perilaku dan proses baru dengan keberhasilan organisasi. Mengembangkan metode – metode untuk memastikan pengembangan dan suksesi kepemimpinan.
C. Proses pengelolaan perubahan
1. Tahap – tahap proses perubahan
Proses perubahan meliputi enam tahapan :
1) Tekanan dan desakan. Proses mulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan perubahan, biasanya disebabkan berbagai masalah yang berarti, seperti penurunan pejualan atau penurunan laba secara tajam.
2) Intervensi dan reorientasi. Konsultan atau pengantar perubahan dari luar sering digunakan untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para organisasi untuk memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut.
3) Diagnosa dan pengenalan masalah. Informasi dikumpulkan dan dianalisa oleh pengantar perubahan dan manajemen.
4) Penemuan dan komitmen pada penyelesaian. Pengantar perubahan hendaknya merangsang pemikiran dan mencoba untuk menghindari penggunaan metode – metode lama yang sama. Penyelesaian – penyelesaian diketemukan melalui pengembangan secara kreatif, alternatif – alternatif baru dan masuk akal.
5) Percobaan dan pencarian hasil – hasil. Penyelesaian – penyelesaian pada tahap empat biasanya diuji dalam program – program percobaan berkala dan hasil – hasilnya dianalisis.
6) Penguatan dan penerimaan. Bila serangkaian kekuatan telah diuji dan sesuai keinginan, harus diterima secara sukarela. Pelaksanaan kegiatan yang telah diterima harus menjadi sumber penguatan dan menimbulkan
keterikatan terhadap perubahan
2. Pemastian bahwa perubahan adalah permanen
Perubahan mensyaratkan bahwa para anggota organisasi mengubah cara – cara mereka biasanya berperilaku atau bekerja. Oleh karena itu, para manajer harus dapat tidak hanya untuk memperbaiki hubungan – hubungan struktural – teknologi – karyawan dalam organisasi tetapi juga untuk membuat perubahan – perubahan dengan cara di mana perilaku manusiawi yang saling berhubungan diubah secara paling efektif. Perubahan efektif hanya terjadi bila para anggota organisasi mengubah perilaku mereka sesuai dengan pengarahan yang diinginkan .
Perubahan – perubahan mungkin menjadi permanen (tetap) bila perubahan – perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
D.Memahami dan megelola penolakan terhadap perubahan
1. Penolakan terhadap perubahan
Bila perubahan terjadi, para manajer dan karyawan akan bereaksi baik secara positif ataupu negatif. Berbagai reaksi khas terhadap perubahan adalah sebagai berikut :
a. orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi. Bila ini terjadi organisasi kemungkinan akan terus kehilangan efektifitasnya.
b. Orang mungkin mengabaikan perubahan. Manajer mungkin menangguhkan keputusan – keputusan dengan harapan bahwa masalah yang terjadi akan hilang dengan sendirinya.
c. Orang mungkin menolak perubahan. Karena berbagai alasan manajer dan karyawan mungkin menolak perubahan
d. Orang mungkin menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut
e. Orang juga mungkin mengantisifasi perubahan dan merencanakannya, seperti banyak dilakukan perusahan – perusahaan progresif.
Ada tiga sumber umum penolakan terhadap perubahan :
1) Ketidakpastian tentang akibat dan pengaruh perubahan. Para anggota organisasi mungkin secara psikologis menolak perubahan karena mereka menghindari ketidakpastian. Cara – cara tradisional pelaksanaan tugas sudah menjadi pedoman kegiatan – kegiatan para anggotanya dan konsekuensi serta aturannya telah diterapkan sangat melekat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengubahnya.
2) Ketidakpastian untuk melepaskan keuntungan – keuntungan yang ada. Perubahan yang akan memberikan banyak manfaat bagi organisasi secara keseluruhan, belum tentu akan menguntungkan sekelompok orang atau individu. Sekelompok orang atau individu yang merasa terancam kedudukannya dengan adanya perubahan akan berusaha mempertahankan status yang dinikmatinya dan berusaha menolak perubahan
3) Pengetahuan akan kelemahan – kelemahan dalam perubahan yang diusulkan kadang – kadang para anggota organisasi akan menolak perubahan karena mereka megetahui adanya masalah – masalah potensial yang tidak diperhatikan oleh para pengusul perubahan. Perbedaan penilaian terhadap situasi ini memberikan jenis konflik yang diperlukan bagi manajer untuk membuat usulan perubahan menjadi lebih efektif.
2. Penanggulangan penolakan terhadap perubahan
Kotler dan Schlesinger mengemukakan enam cara
1) pendidikan dan komunikasi. Salah satu cara untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan adalah dengan menginformasikan perubahan – perubahan yang direncanakan dan kebutuhan akan perubahan sedini mungkin dalam proses.
2) Partisipasi dan keterlibatan. Bila para perubahan dilibatkan dalam perancangan dan implementasi perubahan., penolakan terhadap perubahan dapat dikurangi atau dihilangkan.
3) Kemudahan dan dukungan. Pemudahan proses perubahan dan pemberian dukungan kepada mereka yang terlibat merupakan cara lain manajer dapat menangani penolakan.
4) Negosiasi dan persetujuan. Teknik lain adalah negosiasi dengan para penolak potensial. Sebagai contoh, persetujuan perikatan.
5) Manipulasi dan “bekerja sama”. Kadang – kadang para manajer menjauhkan individu atau kelompok dari penolakan terhadap perubahan.
6) Paksaan eksplisit dan implisit. Para manajer dapat memaksa orang – orang untuk menerima perubahan dengan berbagai ancaman eksplisit dan implisit, dalam bentuk kehilangan pekerjaan, penundaan promosi dan sebagainya. Manajer juga dapat memecat atau memindahkan para karyawan yang menentang perubahan.
Penanggulangan penolakan terhadap perubahan akan melibatkan penggunaan lebih dari satu pendekatan – pendekatan di atas. perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
E. Berbagai pendekatan perubahan organisasi
Bila manajemen merencanakan suatu perubahan, maka harus memutuskan unsur – unsur apa dalam organisasi yang akan diubah. Harold J. Leavitt bahwa organisasi dapat diubah melalui pendekatan struktural, pendekatan teknologis dan pendekatan orang.5
1. Pendekatan struktural
Menurut Leavitt, usaha untuk melakukan perubahan organisasi melalui pengubahan struktur dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah perubahan struktural yang diciptakan melalui aplikasi prinsip – prinsip perancangan organisasi klasik. Para teoritis klasik berusaha untuk memperbaiki prestasi organisasi melalui perumusan secara jelas dan hati – hati tanggungjawab jabatan para anggota organisasi.
Pendekatan perubahan struktural lainya adalah pengubahan organisasi melalui desentralisasi yang mana pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa penciptaan satuan – satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri akan meningkatkan motivasi para anggota organisasi dan membantu mereka untuk memusatkan perhatian mereka pada prioritas yang lebih tinggi.
Pendekatan struktural ketiga bermaksud untuk melakukan perbaikan prestasi organisasi melalui modifikasi aliran kerja dalam organisasi. Pendekatan ini didasarkan atas pemikiran bahwa aliran kerja yang tepat dan pengelompokkan kaeahlian menyebabkan perbaikan produktivitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat kerja dan kepuasan kerja.
2. Pendekatan teknologis
Aplikasi sistematis pendekatan perubahan teknologi mulai dengan hasil karya Frederick Taylor dan para pengikutnya menganalisa dan memperbaiki interaksi – interaksi antara para karyawan dan mesin – mesin untuk meningkatkan efisiensi.6 Dengan studi waktu dan gerak penetapan tingkat upah borongan, dan usaha – usaha lain untuk merancang kembali operasi – operasi kerja dan sistem balas jasa, taylor dan teknisi industri mencoba memperbaiki prestasi organisasi.
Penggabungan pendekatan struktural dan teknologikal, penggabungan kedua perubahan ini bermaksud untuk memperbaiki prestasi melalui perubahan berbagai aspek struktural maupun teknologinya secara bersamaan.
3. Pendekatan orang
Pendekatan – pendekatan orang dilain pihak, bermaksud untuk mengubah secara langsung perilaku karyawan melalui pemusatan pada keterampilan, sikap dan persepsi serta pengharapan mereka, sehingga mereka akan melaksanakan tugas dengan lebih efektif. Keterampilan dan sikap baru ini dapat mendorong para karyawan untuk memprakarsai perubahan dalam struktur dan teknologi organisasi yang mengarah pada perbaikan prestasi organisasi



















Bagaimana organisasi mengetahui kapan mereka harus berubah? Tanda-tanda apa yang harus dicari oleh organisasi? Meskipun tidak ada jawaban yang benar benar pasti, tanda - tanda yang mengindikasikan kebutuhan akan perubahan ditemukan dengan cara mengawasi kekuatan kekuatan untuk perubahan.
Organisasi menghadapi banyak kekuatan untuk perubahan yang berbeda. Kekuatan - kekuatan ini berasal dari sumber eksternal di luar organisasi dan dari sumber internal. Kesadaran akan kekuatan – kekuatan ini dapat membantu para manajer untuk menentukan kapan mereka sebaiknya mempertimbangkan mengimplementasikan perubahan organisasi1.
A. Kekuatan kekuatan untuk perubahan
1. Kekuatan eksternal
Kekuatan eksternal untuk perubahan berasal dari luar organisasi. Ada empat kekuatan eksternal kunci untuk perubahan:
Karakteristik demografi, memberikan pembahasan terinci mengenai perubahan demografi yang terjadi pada anggota. Dua tren kunci yang diidentifikasikan dalam pembahasan tersebut adalah
1) Tenaga kerja lebih beraneka ragam
2) Ada kepentingan bisnis untuk mengelola keragaman secara efektif jika mereka ingin memperoleh kontribusi dan komitmen maksimum dari anggota.
Kemajuan teknologi, baik perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa mengalami peningkatan dalam penggunaan teknologi sebagai suatu sarana untuk memperbaiki produktifitas dan daya saing di pasar.
Perubahan Pasar, munculnya perubahan ekonomi global memaksa perusahaan untuk mengubah cara mereka melakukan bisnis.
Tekanan sosial dan politik, diciptakan oleh peristiwa sosial dan politik. Peristiwa peristiwa politik dapat menciptakan perubahan yang substansial. Meskipun sulit bagi organisasi untuk memprediksikan perubahan dalam kekuatan politik, banyak organisasi yang mempekerjakan para pelobi dan konsultan guna membantu dalam mendeteksi dan menanggapi perubahan perubahan sosial dan politik.

2. Kekuatan internal
Kekuatan internal untuk perubahan berasal dari organisasi. Hal ini mungkin ‘halus’, seperti rendahnya kepuasan kerja atau dapat bermanivestasi dalam tanda tanda luar, seperti rendahnya produktifitas dan timbulnya konflik. Kekuatan kekuatan internal untuk perubahan bersal dari masalah sumberdaya manusia maupun perilaku / keputusan manajerial.
Masalah / prospek sumber daya manusia, masalah ini berasal dari persepsi karyawan mengenai bagaimana mereka diperlakukan di tempat kerja dan adanya kecocokan antara kebutuhan dan keinginan pribadi dan organisasi.
Perilaku / keputusan manajerial, adanya konflik yang berlebihan antara manajer dan bawahannya menandakan bahwa perubahan diperlukan. Baik manajer maupun karyawan membutuhkan pelatihan keterampilan interpersonal, atau kedua individu tersebut mungkin hanya perlu dipisahkan. Misalnya, salah satu pihak mungkin ditransfer ke departemen baru.
B. Model dan dinamika dari perubahan yang direncanakan
1. Jenis jenis perubahan
Tipologi dua cara yang berguna mengenai perubahan ini umum karena berkaitan dengan semua jenis perubahan termasuk perubahan administratif maupun perubahan teknologi. Tipologi untuk perubahan organisasi tersebut antara lain
a.Perubahan adaptif, adalah yang paling rendah dalam hal kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Perubahan ini meliputi penerapan kembali suatu perubahan di unit organisasi yang sama di kemudian hari atau imitasi dari perubahan yang serupa pada unit yang berbeda, contohnya suatu departement store mengandalkan dua belas jam kerja sehari selama minggu perhitungan persediaan tahunan. Departemen akuntansi dari departemen store tersebut dapat meniru perubahan yang sama dalam jam kerja selama waktu persiapan pajak.
b.Perubahan inovatif, yaitu perubahan yang terletak di tengah tengah dari kontinum kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Suatu eksperimen dengan jadwal kerja fleksibel di suatu perusahaan pergudangan bahan bahan pertanian memenuhi syarat sebagai perubahan inovatif jika hal tersebut memerlukan perubahan sesuai dengan cara yang telah digunakan oleh perusahaan perusahaan lain di industri tersebut. Ketidakbiasaan, dan dengan demikian ketidakpastian yang lebih besar, membuat ketakutan akan perubahan menjadi suatu masalah dengan perubahan yang inovatif.
2. Model perubahan lewin
Kurt Lewin mengembangkan model tiga tahap dari perubahan yang direncanakan yang menjelaskan bagaimana memulai, mengelola dan menstabilikan proses perubahan. Tiga tahapan untuk perubahan antara lain :
Mencairkan (unfreezing) Fokus pada tahap ini adalah menciptakan motivasi untuk berubah. Dengan melakukan hal ini, individu didorong untuk menggantikan perilaku dan sikap lama dengan perilaku dan sikap baru yang diinginkan oleh manajemen. Para manajer dapat memulai proses mencairkan ini dengan tidak menegaskan kegunaan maupun kesesuaian dari perilaku atau sikap karyawan saat ini. Dengan kata lain karyawan dapat merasa tidak puas dengan cara lama mereka melakukan secara sesuatu.
Benchmarking (menentukan tolak ukur) adalah teknik yang digunakan untuk membantu mencairkan organisasi yakni menggambarkan keseluruhan proses yang mana perusahan membandingkan kinerjanya dengan perusahaan lainnya yang mempunyai kinerja yang kuat untuk mencapai tujuan mereka.
Mengubah (changing) karena perubahan melibatkan pembelajaran, maka tahap ini diharus kan melengkapi karyawan dengan informasi yang baru, model perilaku baru, atau cara – cara baru untuk memandang segala sesuatu. Tujuannya adalah untuk membantu karyawan mempelajari konsep atau cara pandang baru tersebut.
Membekukan Ulang (refreezing) Perubahan distabilkan pada tahap membekukan kembali dengan cara membantu karyawan mengintegrasikan sikap dan perilaku yang telah diubah ke dalam cara – cara mereka yang normal dalam melakukan segala sesuatu.
3. Model Perubahan Sistem
Pendekatan sistem perspektif “gambaran besar” dari perubahan organisasi. Hal tersebut didasarkan pada ide bahwa perubahan apapun, tidak peduli besar maupun kecil memiliki dampak yang mengalir keseluruh organisasi. Contohnya, mempromosikan seseorang ke kelompok kerja baru akan mempengaruhi dinamika baik kelompok baru maupun kelompok lama, contoh tersebut mengilustrasikan bahwa perubahan menciptakan perubahan lain2. Model perubahan sistem menawarkan kepada para manajer suatu kerangka kerja untuk memahami kompleksitas yang luas dari perubahan organisasi. Tiga komponen utama dari suatu model sistem adalah :
a.Input, Semua perubahan organisasi harus konsisten dengan misi, visi dan rencana strategis yang dihasilkannya. Suatu pernyataan misi mencerminkan “alasan” mengapa suatu organisasi itu ada. Visi didefinisikan sebagai tujuan jangka panjang yang “menggambarkan” inginmenjadi apa organisasi tersebut. Mempertimbangkan perbedaan antara visi dan misi organisasi mempengaruhi perubahan organisasi. Misi hanya mendefinisikan tujuan dari keseluruhan organisasi terkadang tidak selalu mengimplementasikan sesuatu mengenai perubahan. Sementara pernyataan visi menunjukkan cara, perencanaan strategis terdiri atas rincian yang diperlukan untuk perubahan organisasi. Perencanaan strategis menguraikan arah jangka panjang organisasi dan tindakan – tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang direncanakan. Perencanaan strategis didasarkan pada pertimbangan atas kekuatan dan kelemahan organisasi relative terhdap kesempatan dan ancaman dari lingkungannya3. Perbandingan ini menghasilkan pengembangan strategi organisasi guna memperoleh output yang diinginkan seperti laba, kepuasan konsumen, kualitas, tingkat pengembalian investasi yang mencukupi, dan tingkat perputaran serta komitmen karyawan yang dapat diterima.
b.Elemen – elemen target dari perubahan, elemen – elemen target dari perubahan mencerminkan komponen – komponen organisasi yang dapat diubah, perubahan dapat diarahkan pada penyesuaian kembali pengaturan organisasi, faktor sosial, metode, tujuan, dan karyawan. Pilihan tersebut didasarkan pada strategi yang dikejar atau masalah yang sedang dihadapi organisasi
c.Output output mencerminkan hasil akhir yang diinginkan dari perubahan. Hasil akhir harus konsisten dengan rencana strategis organissasi. Usaha perubahan adalah lebih rumit dan lebih sulit untuk dikelola ketika ditargetkan ke tingkat level organisasi. Hal ini terjadi karena perubahan pada tingkat organisasi kemugkinan besar mempengaruhi banyak elemen yang ditargetkan dari perubahan yang ditunjukkan di model tersebut.
4. Delapan Langkah Kotter untuk Memimpin Perubahan Organisasi
John kotler, seorang pakar kepemimpinan dan manajemen perubahan, percaya bahwa perubahan organisasi khususnya akan gagal karena manajemen senior melakukan satu atau lebih kesalahan berikut ini : (Winardi:14:2004)
a.Kegagalan untuk menetapkan suatu rasa kegentingan mengenai kebutuhan akan perubahan seperti mencairkan organisasi dengan menciptakan alasan yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
b.Kegagalan untuk menetapkan suatu koalisi yang cukup kuat untuk memberikan pedoman yang bertanggungjawab untuk memimpin dan mengelola perubahan. Deskripsinya seperti menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan lintas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin kelompok.
c.Kegagalan untuk menetapkan suatu visi yang memandu proses perubahan.
d.Kegagalan untuk mengkomunikasikan visi baru secara efektif.
e.Kegagalan untuk menghilangkan halangan yang merintangi pencapaian visi baru.
f.Kegagalan untuk secara sistematis merencanakan untuk dan menciptakan kemenangan jangka pendek. Kemenangan jangka pendek mencerminkan pencapaian dari hasil atau tujuan penting.
g.Terlalu cepat mengumumkan kemenangan. Hal ini dapat menggelincirkan perubahan jangka panjang pada infrastruktur yang sering diperlukan untuk mencapai suatu visi.
h.Kegagalan untuk menjangkarkan perubahan pada budaya organisasi. Hal inidiperlukan waktu bertahun – tahun untuk tertanam dalam budaya organisasi.
kotler merekomendasikan bahwa organisasi sebaiknya mengikuti delapan langkah yang saling berurutan untuk mengatasi masalah – masalah yang berasal dari tekanan kekuatan internal maupun kekuatan eksternal.4
5. Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi
Langkah – langkah untuk memimpin perubahan organisasi menurut kotler
- Menetapkan rasa kegentingan, yakni mencairkan organisasi dengan menciptakan alas an yang memaksa mengapa perubahan diperlukan.
- Menciptakan koalisi yang memberikan pedoman, yakni dengan menciptakan orang – orang yang lintas fungsi dan litas kelompok dengan kekuatan yang mencukupi untuk memimpin perubahan.
- Mengembangkan suatu visi dan strategi, yakni menciptakan visi dan rencana strategis untuk memandu proses perubahan.
- Membentuk dan mengimplementasikan strategi komunikasi yang secara konsisten mengkomunikasikan visi dan rencana strategi baru.
- Memberdayakan tindakan yang berbasis luas, dengan menghilangkan halangan terhadap perubahan dan menggunakan elemen– elemen target dari perubahan untuk mentransformasikan organisasi. Mendorong sikap yang berani mengambil resiko dan penyelesaian masalah yang kreatif.
- Menghasilkan kemenangan jangka pendek, yakni merencanakan untuk menciptakan kemenangan atau perbaikan jangka pendek, mengakui dan menghargai karyawan yang memberikan kontribusi terhadap kemenangan.
- Mengonsolidasikan keuntungan dan menghasilkan lebih banyak perubahan. Deskripsinya yakni koalisi yang memandu menggunakan kredibilitas dari kemenangan jangka pendek untuk menciptakan lebih banyak perubahan. Tambahan karyawan dilibatkan pada proses perubahan ketika perubahan mengalir ke seluruh organisasi. Usaha dibuat untuk menyegarkan kembali proses perubahan.
- Menancapkan pendekatan baru ke dalam budaya, dengan cara
memperkuat perubahan dengan menggarisbawahi hubungan antara perilaku dan proses baru dengan keberhasilan organisasi. Mengembangkan metode – metode untuk memastikan pengembangan dan suksesi kepemimpinan.
C. Proses pengelolaan perubahan
1. Tahap – tahap proses perubahan
Proses perubahan meliputi enam tahapan :
1) Tekanan dan desakan. Proses mulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan perubahan, biasanya disebabkan berbagai masalah yang berarti, seperti penurunan pejualan atau penurunan laba secara tajam.
2) Intervensi dan reorientasi. Konsultan atau pengantar perubahan dari luar sering digunakan untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para organisasi untuk memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut.
3) Diagnosa dan pengenalan masalah. Informasi dikumpulkan dan dianalisa oleh pengantar perubahan dan manajemen.
4) Penemuan dan komitmen pada penyelesaian. Pengantar perubahan hendaknya merangsang pemikiran dan mencoba untuk menghindari penggunaan metode – metode lama yang sama. Penyelesaian – penyelesaian diketemukan melalui pengembangan secara kreatif, alternatif – alternatif baru dan masuk akal.
5) Percobaan dan pencarian hasil – hasil. Penyelesaian – penyelesaian pada tahap empat biasanya diuji dalam program – program percobaan berkala dan hasil – hasilnya dianalisis.
6) Penguatan dan penerimaan. Bila serangkaian kekuatan telah diuji dan sesuai keinginan, harus diterima secara sukarela. Pelaksanaan kegiatan yang telah diterima harus menjadi sumber penguatan dan menimbulkan
keterikatan terhadap perubahan
2. Pemastian bahwa perubahan adalah permanen
Perubahan mensyaratkan bahwa para anggota organisasi mengubah cara – cara mereka biasanya berperilaku atau bekerja. Oleh karena itu, para manajer harus dapat tidak hanya untuk memperbaiki hubungan – hubungan struktural – teknologi – karyawan dalam organisasi tetapi juga untuk membuat perubahan – perubahan dengan cara di mana perilaku manusiawi yang saling berhubungan diubah secara paling efektif. Perubahan efektif hanya terjadi bila para anggota organisasi mengubah perilaku mereka sesuai dengan pengarahan yang diinginkan .
Perubahan – perubahan mungkin menjadi permanen (tetap) bila perubahan – perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
D.Memahami dan megelola penolakan terhadap perubahan
1. Penolakan terhadap perubahan
Bila perubahan terjadi, para manajer dan karyawan akan bereaksi baik secara positif ataupu negatif. Berbagai reaksi khas terhadap perubahan adalah sebagai berikut :
a. orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi. Bila ini terjadi organisasi kemungkinan akan terus kehilangan efektifitasnya.
b. Orang mungkin mengabaikan perubahan. Manajer mungkin menangguhkan keputusan – keputusan dengan harapan bahwa masalah yang terjadi akan hilang dengan sendirinya.
c. Orang mungkin menolak perubahan. Karena berbagai alasan manajer dan karyawan mungkin menolak perubahan
d. Orang mungkin menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut
e. Orang juga mungkin mengantisifasi perubahan dan merencanakannya, seperti banyak dilakukan perusahan – perusahaan progresif.
Ada tiga sumber umum penolakan terhadap perubahan :
1) Ketidakpastian tentang akibat dan pengaruh perubahan. Para anggota organisasi mungkin secara psikologis menolak perubahan karena mereka menghindari ketidakpastian. Cara – cara tradisional pelaksanaan tugas sudah menjadi pedoman kegiatan – kegiatan para anggotanya dan konsekuensi serta aturannya telah diterapkan sangat melekat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengubahnya.
2) Ketidakpastian untuk melepaskan keuntungan – keuntungan yang ada. Perubahan yang akan memberikan banyak manfaat bagi organisasi secara keseluruhan, belum tentu akan menguntungkan sekelompok orang atau individu. Sekelompok orang atau individu yang merasa terancam kedudukannya dengan adanya perubahan akan berusaha mempertahankan status yang dinikmatinya dan berusaha menolak perubahan
3) Pengetahuan akan kelemahan – kelemahan dalam perubahan yang diusulkan kadang – kadang para anggota organisasi akan menolak perubahan karena mereka megetahui adanya masalah – masalah potensial yang tidak diperhatikan oleh para pengusul perubahan. Perbedaan penilaian terhadap situasi ini memberikan jenis konflik yang diperlukan bagi manajer untuk membuat usulan perubahan menjadi lebih efektif.
2. Penanggulangan penolakan terhadap perubahan
Kotler dan Schlesinger mengemukakan enam cara
1) pendidikan dan komunikasi. Salah satu cara untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan adalah dengan menginformasikan perubahan – perubahan yang direncanakan dan kebutuhan akan perubahan sedini mungkin dalam proses.
2) Partisipasi dan keterlibatan. Bila para perubahan dilibatkan dalam perancangan dan implementasi perubahan., penolakan terhadap perubahan dapat dikurangi atau dihilangkan.
3) Kemudahan dan dukungan. Pemudahan proses perubahan dan pemberian dukungan kepada mereka yang terlibat merupakan cara lain manajer dapat menangani penolakan.
4) Negosiasi dan persetujuan. Teknik lain adalah negosiasi dengan para penolak potensial. Sebagai contoh, persetujuan perikatan.
5) Manipulasi dan “bekerja sama”. Kadang – kadang para manajer menjauhkan individu atau kelompok dari penolakan terhadap perubahan.
6) Paksaan eksplisit dan implisit. Para manajer dapat memaksa orang – orang untuk menerima perubahan dengan berbagai ancaman eksplisit dan implisit, dalam bentuk kehilangan pekerjaan, penundaan promosi dan sebagainya. Manajer juga dapat memecat atau memindahkan para karyawan yang menentang perubahan.
Penanggulangan penolakan terhadap perubahan akan melibatkan penggunaan lebih dari satu pendekatan – pendekatan di atas. perubahan yang menyangkut perilaku dilakukan dengan tepat. Bila tidak hal itu akan berdampak sementara.
E. Berbagai pendekatan perubahan organisasi
Bila manajemen merencanakan suatu perubahan, maka harus memutuskan unsur – unsur apa dalam organisasi yang akan diubah. Harold J. Leavitt bahwa organisasi dapat diubah melalui pendekatan struktural, pendekatan teknologis dan pendekatan orang.5
1. Pendekatan struktural
Menurut Leavitt, usaha untuk melakukan perubahan organisasi melalui pengubahan struktur dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah perubahan struktural yang diciptakan melalui aplikasi prinsip – prinsip perancangan organisasi klasik. Para teoritis klasik berusaha untuk memperbaiki prestasi organisasi melalui perumusan secara jelas dan hati – hati tanggungjawab jabatan para anggota organisasi.
Pendekatan perubahan struktural lainya adalah pengubahan organisasi melalui desentralisasi yang mana pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa penciptaan satuan – satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri akan meningkatkan motivasi para anggota organisasi dan membantu mereka untuk memusatkan perhatian mereka pada prioritas yang lebih tinggi.
Pendekatan struktural ketiga bermaksud untuk melakukan perbaikan prestasi organisasi melalui modifikasi aliran kerja dalam organisasi. Pendekatan ini didasarkan atas pemikiran bahwa aliran kerja yang tepat dan pengelompokkan kaeahlian menyebabkan perbaikan produktivitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat kerja dan kepuasan kerja.
2. Pendekatan teknologis
Aplikasi sistematis pendekatan perubahan teknologi mulai dengan hasil karya Frederick Taylor dan para pengikutnya menganalisa dan memperbaiki interaksi – interaksi antara para karyawan dan mesin – mesin untuk meningkatkan efisiensi.6 Dengan studi waktu dan gerak penetapan tingkat upah borongan, dan usaha – usaha lain untuk merancang kembali operasi – operasi kerja dan sistem balas jasa, taylor dan teknisi industri mencoba memperbaiki prestasi organisasi.
Penggabungan pendekatan struktural dan teknologikal, penggabungan kedua perubahan ini bermaksud untuk memperbaiki prestasi melalui perubahan berbagai aspek struktural maupun teknologinya secara bersamaan.
3. Pendekatan orang
Pendekatan – pendekatan orang dilain pihak, bermaksud untuk mengubah secara langsung perilaku karyawan melalui pemusatan pada keterampilan, sikap dan persepsi serta pengharapan mereka, sehingga mereka akan melaksanakan tugas dengan lebih efektif. Keterampilan dan sikap baru ini dapat mendorong para karyawan untuk memprakarsai perubahan dalam struktur dan teknologi organisasi yang mengarah pada perbaikan prestasi organisasi

perubahan organisasi

konflik organisasi

Pengertian Konflik
Kata ‘Konflik’ itu berasal dari bahasa Latin ‘Confligo’ yang terdiri dari dua kata, yakni ‘con’ yang berarti bersama-sama dan ‘fligo’ yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Robbins dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Sedang menurut Luthans konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Terdapat perbedaan pandangan para pakar dalam mengartikan konflik. Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam mengartikan konflik, yaitu pendekatan individu, pendekatan organisasi, dan pendekatan sosial.
Namun, Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya, orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan individu antara lain disampaikan oleh Ruchyat dan Winardi. Ruchyat mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Senada dengan pendapat ini Winardi mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam individu bersangkutan.
Hal ini terjadi jika individu
1) harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama,
2) harus memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali
3) harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan sosial adalah seperti yang disampaikan oleh Cummings dan Alisjahbana. Cummings mendefinisikan konflik sebagai suatu proses interaksi sosial, dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih berbeda atau bertentangan dalam pendapat dan tujuan mereka. Alisjahbana mengartikan konflik sebagai perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan organisasi antara lain dikemukakan oleh para pakar berikut. Luthans mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota kelompok organisasi. Dubrint mengartikan konflik sebagai pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Sedarmayanti mengemukakan konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals) nilai (values) pikiran (cognition) perasaan (affect) dan perilaku (behavior). James A . F. Stoner menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan/atau pandangan yang berbeda.
2.2 Pandangan tentang konflik dalam organisasi
Ada tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional (Traditional view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan interaksonis (interactionism view of conflict).
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional ini menganggap konflik sebagai hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu tidak terelakan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Sementara pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya pandangan ini menjadi jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah suatu konflik baik atau buruk tergantung pada tipe konflik. Secara teoretik Robbins, mengemukakan terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah sebuah konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi di antara kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
2.3 fase-fase dalam konflik organisasi
Apabila kita berbicara tentang evolusi pemikiran tentang konflik, maka dapat kita identifikasikan tiga macam fase dalam perkembangan pemikiran tentang konflik-konflik di dalam organisasi-organisasi. Adapun fase-fase tersebut adalah:
a.Fase klasik(The classical phase)
Fase klasik atau fase tradisional memandang konflik pada suatu organisasi sebagai hal yang bersifat disfungsional, dan sebagai sesuatu ketidaksempurnaan pada suatu organisasi, yang apabila diberi waktu dan menejemen yang baik, dapat ditiadakan secara sempurna.
b.Fase hubungan antar manusia
Fase hubungan manusia berhubungan dengan pemikiran tentang konflik, mengakui eksistensi konflik, tetapi konflik cenderung dianggap sebagai hal yang dapat dihindari dan sebagai sesuatu
Hal yang perlu diatasi. Fase hubungan manusia memandang konflik sebagai gangguan yang mengacaukan keseimbangan suatu organisasi.
Pandangan demikian merefleksi pemikiran popular yang dihubungkan dengan personal moral, hubungan manusia dan kerja sama dan nilai universal yang menyatakan bahwa konflik itu buruk.
c.Fase kontemporer
Pandangan yang bersifat lebih kontemporer menyatakan bahwa konflik, bukannya baik ataupun buruk bagi organisasi. Konflik sesungguhnya merupakan suatu sifat kehidupan yang tidak dapat dihindari pada suatu organisasi. Ia merupakan sebuah fakta kehidupan yang perlu dipahami dan bukan ditentang.
Konflik muncul diantara individu-individu, kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar pada suatu organisasi. Disamping itu konflik merupakan sebuah cciri yang tidak dapat dihindari dari interaksi antara sebuah organisasi dan lingkungan eksternalnya.
2.4 Sumber sumber konflik
Konflik dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Beberapa karakteristik organisasi khusus bisa menimbulkan konflik. Sumber-sumber konflik antar kelompok antara lain tujuan yang berseberangan, perbedaan, ketergantungan, dan sumber-sumberdaya yang terbatas. Keterkaitan karakteristik organisasi ini ditentukan oleh factor-faktor lingkungan, ukuran, teknologi, strategi, tujuan-tujuan dan struktur organisasi. Beberapa karakteristik ini nantinya akan membantu pembentukan model rasional dari pada model politis yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Tosi, H.L. Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J.mengelompokkan sumber-sumber konflik menjadi tiga yaitu
(1) Individual characteristic
(2) Situational conditions
(3) Organizations structure.
Karakteristik individu meliputi; perbedaan individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan kepribadian, persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling ketergantungan untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen, perbedaan status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas. Penyebab konflik yang ketiga adalah struktur organisasi yaitu, spesialisasi pekerjaan, saling ketergantungan dalam tugas dalam tugas, perbedaan tujuan, kelangkaan sumber-sumber, adanya pengaruh dan kekuasaan ganda, perbedaan kriteria dalam sistem penggajian.
2.5 Proses terjadinya konflik organisasi
Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu. Robbins menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial; tahap kognisi dan personalisasi; tahap maksud; tahap perilaku; dan tahap hasil.

Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.


Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.

Tahap III: Maksud
Maksud berada di antara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.

2.6 Jenis-Jenis Konflik Organisasi
Konflik terdiri atas lima jenis, yaitu:
konflik dalam diri individu
konflik antar individu
konflik antar anggota dalam satu kelompok
konflik antar kelompok
konflik antar bagian dalam organisasi, dan konflik antar organisasi.
a.Konflik dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Handoko mengemukakan konflik dalam diri individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
b.Konflik antar individu
Konflik antar individu (interpersonal conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.
c.Konflik antar anggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
d.Konflik antar kelompok
Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian.
e.Konflik antar bagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut "mewakili" unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa konflik ini terdiri atas
1)Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan guru.
2)Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3)Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.
f.Konflik antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.
2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik Organisasi
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan factor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :
1. Kemantapan organisasi
Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.
2. Sistem nilai
Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.
3. Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.
2. Derajat ketergantungan dengan pihak lain
Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
3. Pola interaksi dengan pihak lain
Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.

2.8 Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi
Suatu konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi, akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan. Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.
Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker mengemukakan bahwa: Konflik itu bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam setiap organisasi. Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine mengemukakan bahwa: Konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan. Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat menumbuhkan kreativitas baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun perubahan masyarakat.
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Depdikbud yang dikutip oleh D. Deni Koswara bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
a.Konflik dapat menyebabkan timbulnya perasaan "tidak enak" sehingga menghambat komunikasi.
b.Konflik dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
c.Konflik menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok.
d.Konflik dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
e.Konflik dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahan ‑ perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim manapun merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.
Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.
2.9 Mengatasi dan Mengelola Konflik dalam Organisasi
Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi, et al. berpendapat bahwa: Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi.
Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami Menurut Handoko secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu:
(1) stimulasi konflik
(2) pengurangan atau penekanan konflik
(3) penyelesaian konflik.
Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau penekanan konflik, manajer yang mempunyai pandangan tradisional berusaha menekan konflik sekecil-kecilnya dan bahkan berusaha meniadakan konflik daripada menstimuli konflik. Strategi pengurangan konflik berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Demikian halnya, Winardi berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan;
(1) Menstimulasi konflik
(2) Mengurangi atau menekan konflik
(3) Menyelesaikan konflik
Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan.
Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu;
(a) memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku
(b) merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru
(c) menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami
(d) meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya
(e) memilih pimpinan baru yang lebih demokratis.
Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok.

konflik organisasi

Pengertian Konflik
Kata ‘Konflik’ itu berasal dari bahasa Latin ‘Confligo’ yang terdiri dari dua kata, yakni ‘con’ yang berarti bersama-sama dan ‘fligo’ yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Robbins dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Sedang menurut Luthans konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Terdapat perbedaan pandangan para pakar dalam mengartikan konflik. Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam mengartikan konflik, yaitu pendekatan individu, pendekatan organisasi, dan pendekatan sosial.
Namun, Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya, orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan individu antara lain disampaikan oleh Ruchyat dan Winardi. Ruchyat mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Senada dengan pendapat ini Winardi mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam individu bersangkutan.
Hal ini terjadi jika individu
1) harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama,
2) harus memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali
3) harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan sosial adalah seperti yang disampaikan oleh Cummings dan Alisjahbana. Cummings mendefinisikan konflik sebagai suatu proses interaksi sosial, dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih berbeda atau bertentangan dalam pendapat dan tujuan mereka. Alisjahbana mengartikan konflik sebagai perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan organisasi antara lain dikemukakan oleh para pakar berikut. Luthans mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota kelompok organisasi. Dubrint mengartikan konflik sebagai pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Sedarmayanti mengemukakan konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals) nilai (values) pikiran (cognition) perasaan (affect) dan perilaku (behavior). James A . F. Stoner menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan/atau pandangan yang berbeda.
2.2 Pandangan tentang konflik dalam organisasi
Ada tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional (Traditional view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan interaksonis (interactionism view of conflict).
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional ini menganggap konflik sebagai hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu tidak terelakan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Sementara pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya pandangan ini menjadi jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah suatu konflik baik atau buruk tergantung pada tipe konflik. Secara teoretik Robbins, mengemukakan terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah sebuah konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi di antara kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
2.3 fase-fase dalam konflik organisasi
Apabila kita berbicara tentang evolusi pemikiran tentang konflik, maka dapat kita identifikasikan tiga macam fase dalam perkembangan pemikiran tentang konflik-konflik di dalam organisasi-organisasi. Adapun fase-fase tersebut adalah:
a.Fase klasik(The classical phase)
Fase klasik atau fase tradisional memandang konflik pada suatu organisasi sebagai hal yang bersifat disfungsional, dan sebagai sesuatu ketidaksempurnaan pada suatu organisasi, yang apabila diberi waktu dan menejemen yang baik, dapat ditiadakan secara sempurna.
b.Fase hubungan antar manusia
Fase hubungan manusia berhubungan dengan pemikiran tentang konflik, mengakui eksistensi konflik, tetapi konflik cenderung dianggap sebagai hal yang dapat dihindari dan sebagai sesuatu
Hal yang perlu diatasi. Fase hubungan manusia memandang konflik sebagai gangguan yang mengacaukan keseimbangan suatu organisasi.
Pandangan demikian merefleksi pemikiran popular yang dihubungkan dengan personal moral, hubungan manusia dan kerja sama dan nilai universal yang menyatakan bahwa konflik itu buruk.
c.Fase kontemporer
Pandangan yang bersifat lebih kontemporer menyatakan bahwa konflik, bukannya baik ataupun buruk bagi organisasi. Konflik sesungguhnya merupakan suatu sifat kehidupan yang tidak dapat dihindari pada suatu organisasi. Ia merupakan sebuah fakta kehidupan yang perlu dipahami dan bukan ditentang.
Konflik muncul diantara individu-individu, kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar pada suatu organisasi. Disamping itu konflik merupakan sebuah cciri yang tidak dapat dihindari dari interaksi antara sebuah organisasi dan lingkungan eksternalnya.
2.4 Sumber sumber konflik
Konflik dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Beberapa karakteristik organisasi khusus bisa menimbulkan konflik. Sumber-sumber konflik antar kelompok antara lain tujuan yang berseberangan, perbedaan, ketergantungan, dan sumber-sumberdaya yang terbatas. Keterkaitan karakteristik organisasi ini ditentukan oleh factor-faktor lingkungan, ukuran, teknologi, strategi, tujuan-tujuan dan struktur organisasi. Beberapa karakteristik ini nantinya akan membantu pembentukan model rasional dari pada model politis yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Tosi, H.L. Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J.mengelompokkan sumber-sumber konflik menjadi tiga yaitu
(1) Individual characteristic
(2) Situational conditions
(3) Organizations structure.
Karakteristik individu meliputi; perbedaan individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan kepribadian, persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling ketergantungan untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen, perbedaan status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas. Penyebab konflik yang ketiga adalah struktur organisasi yaitu, spesialisasi pekerjaan, saling ketergantungan dalam tugas dalam tugas, perbedaan tujuan, kelangkaan sumber-sumber, adanya pengaruh dan kekuasaan ganda, perbedaan kriteria dalam sistem penggajian.
2.5 Proses terjadinya konflik organisasi
Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu. Robbins menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial; tahap kognisi dan personalisasi; tahap maksud; tahap perilaku; dan tahap hasil.

Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.


Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.

Tahap III: Maksud
Maksud berada di antara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.

2.6 Jenis-Jenis Konflik Organisasi
Konflik terdiri atas lima jenis, yaitu:
konflik dalam diri individu
konflik antar individu
konflik antar anggota dalam satu kelompok
konflik antar kelompok
konflik antar bagian dalam organisasi, dan konflik antar organisasi.
a.Konflik dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Handoko mengemukakan konflik dalam diri individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
b.Konflik antar individu
Konflik antar individu (interpersonal conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.
c.Konflik antar anggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
d.Konflik antar kelompok
Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian.
e.Konflik antar bagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut "mewakili" unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa konflik ini terdiri atas
1)Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan guru.
2)Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3)Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.
f.Konflik antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.
2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik Organisasi
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan factor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :
1. Kemantapan organisasi
Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.
2. Sistem nilai
Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.
3. Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.
2. Derajat ketergantungan dengan pihak lain
Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
3. Pola interaksi dengan pihak lain
Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.

2.8 Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi
Suatu konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi, akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan. Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.
Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker mengemukakan bahwa: Konflik itu bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam setiap organisasi. Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine mengemukakan bahwa: Konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan. Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat menumbuhkan kreativitas baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun perubahan masyarakat.
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Depdikbud yang dikutip oleh D. Deni Koswara bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
a.Konflik dapat menyebabkan timbulnya perasaan "tidak enak" sehingga menghambat komunikasi.
b.Konflik dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
c.Konflik menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok.
d.Konflik dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
e.Konflik dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahan ‑ perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim manapun merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.
Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.
2.9 Mengatasi dan Mengelola Konflik dalam Organisasi
Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi, et al. berpendapat bahwa: Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi.
Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami Menurut Handoko secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu:
(1) stimulasi konflik
(2) pengurangan atau penekanan konflik
(3) penyelesaian konflik.
Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau penekanan konflik, manajer yang mempunyai pandangan tradisional berusaha menekan konflik sekecil-kecilnya dan bahkan berusaha meniadakan konflik daripada menstimuli konflik. Strategi pengurangan konflik berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Demikian halnya, Winardi berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan;
(1) Menstimulasi konflik
(2) Mengurangi atau menekan konflik
(3) Menyelesaikan konflik
Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan.
Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu;
(a) memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku
(b) merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru
(c) menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami
(d) meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya
(e) memilih pimpinan baru yang lebih demokratis.
Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok.
welcome to my blog friends