Kamis, 03 November 2011

STANDARISASI HALAL

A. Pengertian Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persoalan sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntun oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, mengunakan atau mengkonsumsinya; demikian pula sebalikya. Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan ( atau harta) , kita jelas harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat . Diantara aturan ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam firman ALLAH S.W.T. surat al baqoroh (2: 168) :  Artinya :‘’ Hai sekalian manusia ,makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ,dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan , karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Yang dimaksud makanan halalan thayyiban adalah makanan yang boleh untuk dikonsumsi secara syariat dan baik bagi tubuh secara kesehatan ( medis). Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria , yaitu halal zatnya , halal cara perolehannya, dan halal cara pengolehannya. Makanan yang halal zatnya adalah makanan yang pada dasarnya halal dikonsumsi karena tidak ada dalil yang melarangnya. Makanan yang halal diperoleh, yaitu makanan yang perolehannya secara sah yang dibenarkan oleh syariat. Makanan yang halal pengolahannya, yaitu makanan yang pengolahannya tidak berlawanan dengan syariat dan mengandung kriteria baik , yaitu mengandung gizi dan vitamin ( djakfar , 2009: 194-197) B. Landasan Hukum dari alqur`an dan yuridis Mengenai Halal Haram Cukup banyak ayat dan hadis yang menjelaskan mengenai halal dan haram, diantaranya sebagai berikut: Al- Ma’idah(5): 88  artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” An-Nahl(16): 114 artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” Ayat-ayat tersebut tidak saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketaqwaan, dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. Terdapat pula beberapa landasan hukum berkaitan dengan standarisasi halal, antara lain: 1. UU No. 7/1996 tentang Pangan. Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34. Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berilkut: Pasal 30 1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan. 2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a) Nama Produk b) Dafatar bahan yang digunakan c) Berat bersih atau isi bersih d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi e) Keterangan tentang halal f) Tanggal, bulan dan tahun kadarluwarsa Pasal 34 1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. 2. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), Pasal 10 dan 11. Pasal 3, ayat 2 Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya: a. Nama produk b. Daftar bahan yang digunakan c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia d. Tanggal, bulan dan tahun kadarluwarsa Pasal 10 1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. 2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. C. Fungsi Standarisasi Halal Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM). D. Metode penetapan Halal. Adapun penetapan halal dan fatwa ini merupakan wewenang dan tugas komisi Fatwa MUI , hal ini telah berjalan sejak lembaga ini didirikan pada tahun 1989 M sampai sekarang tanpaada satupun memprotesnya Komisi Fatwa telah dibentuk bersamaan dengan pembentukan majelis ulama Indonesia , yaitu pada tahun 1975 atas prakarsa presiden RI saat itu ( Alm) H. M. Soeharto . Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sejak terbentuknya sampai sekarang terbagi menjadi 4 bagian: 1. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUNAS MUI yang diadakan 5 tahun sekali . MUNAS merupakan badan tertinggi dalam MUI yang mengagendakan pemilihan ketua umum. Kategori fatwa didalamnya bersifat umum, baik menyangkut permasalahan aqidah, fiqih atau permasalahan- permasalahan lainnya. 2. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI tentang permasalahan-permasalahan fiqih secara umum.anggota-anggota Komisi Fatwa dalam sidang Fatwa tersebut adalah mereka yang terpilih menjadi anggota Komisi Fatwa dalam MUNAS MUI. 3. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan olah Komisi Fatwa MUI tentang pangan , obat dan kosmetik. Para peserta sidang Fatwa terdiri dari Komisi Fatwa dengan LPPOM . Anggota LPPOM hanya melaporkan hasil penemuan mereka tentang produk-produk pangan, sedangkan penetapan halal dikeluarkan oleh anggota Komisi Fatwa. 4. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Kategori Fatwa dalam hal ini hanya berhubungan dengan ekonomi Islam saja, yaitu meliputi transaksi muamalah, bisnis dan lain sebagainya. (Yaqub, 2009: 260-261) Fatwa Haram Pada Beberapa Bahan Terdapat beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mengenai haramnya beberapa bahan, antara lain: 1. Khamr § Segala sesuatu yang memabukkan dikategorikan sebagai khamr. § Minuman yang mengandung minimal 1 % ethanol, dikategorikan sebagai khamr. § Minuman yang dikategorikan khamr adalah najis. § Minuman yang diproduksi dari proses fermentasi yang mengandung kurang dari 1 % ethanol, tidak dikategorikan khamr tetapi haram untuk dikonsumsi. 2. Ethanol § Ethanol yang diproduksi dari industri bukan khamr hukumnya tidak najis atau suci. § Penggunaan ethanol yang berasal dari industri non khamr di dalam produksi pangan diperbolehkan, selama tidak terdeteksi pada produk akhir. § Penggunaan ethanol yang berasal dari industri khamr tidak diperbolehkan. 3. Hasil Samping Industri Khamr § Fusel oil yang berasal dari hasil samping industri khamr adalah haram dan najis § Komponen bahan yang diperoleh dari industri khamr melalui pemisahan secara fisik adalah haram (contohnya iso amil alkohol), § tetapi apabila direaksikan untuk menghasilkan bahan baru, bahan baru tersebut adalah halal. 4. Flavor Yang Menyerupai Produk Haram Flavor yang menggunakan nama dan mempunyai profil sensori produk haram, contohnya flavor rum, flavor babi, dan lain-lain, tidak bisa disertifikasi halal serta tidak boleh dikonsumsi walaupun ingredien yang digunakan adalah halal. 5. Produk Mikrobial Produk mikrobial adalah halal selama ingredien medianya (mulai dari media penyegaran hingga media produksi) tidak haram dan najis 6. Penggunaan Alat Bersama Bagi industri yang memproduksi produk halal dan non halal maka untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang, pemisahan fasilitas produksi harus. Dilakukan mulai dari tempat penyimpanan bahan, formulasi, proses produksi dan penyimpanan produk jadi.Suatu peralatan tidak boleh digunakan bergantian antara produk babi dan non-babi meskipun sudah melalui proses pencucian. E. Prosedur permohonan dan pemeriksaan produk halal 1. Prosedur permohonan Untuk mendapatkan status halal sebuah produk, pelaku usaha harus melakukan prosedur permohonan sebagai berikut : a. Pelaku usaha melakukan permohonan ke DEPAG. DEPAG menunjuk LPPOM MUI untuk melakukan pemeriksaan. b. Jika hasil sidang Fatwa MUI memutuskan produk tersebut tidak halal, maka dikembalikan pada LPPOM MUI dan diteruskan pada pelaku usaha untuk dilengkapi dan disempurnakan. c. Setelah mendapat izin dan nomer kode dari Menteri Agama, perusahaan yang bersangkutan dapat mencetak label halal dengan menggunakan standar pemerintah. 2. Prosedur pemeriksaan Setelah permohonan diterima, proses selanjutnya adalah pemeroiksaan. a. Lembaga pemeriksaaan Lembaga pemeriksaan ialah lembaga yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terkait kehalalan produk.dan lembaga tersebut harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut; 1. Tenaga auditor atau inspektor dalam jumlah atau kualitas yang memadai 2. Prosedur tetap pemeriksaan kehalaln produk 3. Laboratium yang mampu melakukan pengujian produk 4. Jaringan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga sertidikasi halal luar negeri. b. Prosedur pemeriksaan Setiap prosedur maupun importer yang mengajukan permohonan pemeriksaan penetapan produk halal dari lembaga pemeriksa harus memenuhi prosedur sebagai berikut: 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Khusus bagi produk yang menggunakan bahan yang berasal dari hewan harus melampirkan sertifikat halal dari MUI 3. Data penunjang bahan seperti sertifikat halal asal usul bahan dan lain-lain 4. Bagan atur proses produksi 5. Sertifikat dan sumber bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong lainnya. c. Pelaksanaan pemeriksaan 1. Pimpinan lembaga pemeriksa menerbitkan surat tugas pemeriksaan kepada tim pemeriksa . 2. Pada waktu yang disepakati pemeriksa mengadakan pemeriksaan di perusahaan yang mengajukan permohonan pemeriksaan. 3. Tim pemeriksa meminta pihak perusahaan untuk memberikan penjelasan dan mengadakan tanya jawab mengenai perusahaan. 4. Pemerikasaan administrasi untuk pemastian ulang. 5. Pemeriksaan proses produksi 6. Pemeriksaan laboratorium 7. Pemeriksaan pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan produk 8. Pemeriksaan terhadap transportasi distribusi dan pemasaran 9. Hasil pemeriksaan dipertanggungjawabkan pada badan pengawas halal nasional (BPHN) d. Objek pemeriksaan ( Djakfar, 2009; 211-217)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

welcome to my blog friends